DAFTAR ISI: tentang saya | being moderat | project5 | galeri | simple view | tanJabok.com

MAN BEHIND ME: muhammad, syekh abbas, afa, tan malaka, m.hatta, m.natsir, dt.ribandang-dt.ketemanggungan, umar bin khatab, ali bin abi thalib, etc...

as MINANG's: it isnt about narsism, every man shouldnt forget who they really are... if they do, they just burried their identity, let this be our opportunities/potentials, not threats... a half man dont know where they stand on...

20 December 2006

Sjafruddin Prawiranegara

masih ingat ketika ayah dan orang "gaek" dikampung ku bercerita tentang mr. syaf dan ikan kalua dan kelapa muda. mereka menjejakkan kaki, berdiskusi akan arah pergerakan, mencapai satu limit akan sebuah aksi, untuk Indonesia.
Di tempat ini aku menemukan jiwa ku, tempat aku akan kembali, pasti!! (abie)
------

Oleh : Asro Kamal Rokan (Resonansi Republika)

"... kita membuktikan bahwa perhitungan Belanda itu sama sekali meleset. Belanda mengira dengan ditawannya pemimpin-pemimpin kita yang tertinggi, pemimpin-pemimpin lain akan putus asa. Negara RI tidak tergantung kepada Soekarno-Hatta, sekalipun kedua pemimpin itu sangat berharga bagi kita. Patah tumbuh hilang berganti. Kepada seluruh Angkatan Perang Negara RI kami serukan: Bertempurlah, gempurlah Belanda di mana saja dan dengan apa saja mereka dapat dibasmi. Jangan letakkan senjata, menghentikan tembak-menembak kalau belum ada perintah dari pemerintah yang kami pimpin. Camkanlah hal ini untuk menghindarkan tipuan-tipuan musuh ...."

Kalimat heroik itu diucapkan Sjafruddin Prawiranegara, pada 23 Desember 1948, sehari setelah Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) terbentuk di perkebunan teh, Halaban, sekitar 15 km selatan Payakumbuh, Sumatra Barat. Tokoh-tokoh republik, yang ketika itu berada di Sumatra Barat, di antaranya Mr T Mohammad Hassan; Ketua Komisaris Pemerintah Pusat, Mr SM Rasyid; Kolonel Hidayat; dan juga Dirut BNI, Mr A Karim. Mereka bertindak cepat, dan memutuskan membentuk PDRI yang dipimpin Sjafruddin Prawiranegara.

Ini keputusan luar biasa dan sangat cepat. Bayangkan apa yang terjadi jika Sjafruddin --yang ketika sebagai Menteri Kemakmuran -- tidak punya inisiatif di saat Soekarno dan Hatta ditawan dan Yogyakarta sebagai ibu kota negara dikuasi Belanda? Melalui siaran radio, setelah Yogyakarta dikuasai pada 19 Desember 1948, Belanda menyatakan Republik Indonesia telah bubar. Tidak ada lagi Pemerintah Indonesia. Kekuasaan penuhnya di tangan Belanda. Sjafruddin dan kawan-kawan berdiri dan menyatakan Indonesia tidak bubar. "Kita membuktikan bahwa perhitungan Belanda itu sama sekali meleset," kata tokoh Masjumi ini. "Kami meskipun dalam rimba, masih tetap di wilayah RI, karena kami pemerintah yang sah!"

Seperti ditulis dalam situs Wikipedia Indonesia, PDRI (1948-1949) terus bergerilya di hutan-hutan, menyerang kepentingan Belanda. Mereka membentuk wilayah pemerintahan militer di Aceh, Tapanuli dan Sumatra Timur, Riau, Sumatra Barat, dan Sumatra Selatan. Mereka menggelorakan perlawanan. Belanda, dengan nada mengejek, menyebutkan PDRI sebagai Pemerintah Dalam Rimba Indonesia.

Perlawanan PDRI tidak saja menyulitkan Belanda di lapangan, tapi juga memengaruhi citra Belanda di internasional. Mereka dikecam, dan Belanda terpaksa duduk dalam perundingan Roem-Royen, 1949. Sjafruddin mendukung perjanjian Roem-Royen, apalagi pimpinan Masjumi, M Natsir, meyakinkan Sjafruddin untuk datang ke Jakarta. Pada 14 Juli 1949, sehari setelah sidang yang dipimpin Soekarno, Sjafruddin menyerahkan mandat kepada Wakil Presiden M Hatta, yang kemudian kembali menjadi Perdana Menteri. PDRI telah menyelamatkan Indonesia.

Tanyakan kepada genarasi muda, bahkan mereka yang lahir pada 1960-an, apakah mengetahui peran penting PDRI itu? Sejarah yang ditulis pada masa kepemimpinan Soekarno, tak banyak menjelaskan soal ini. Masa Orde Baru, peristiwa ini seperti diletakkan di tumpukkan buku paling bawah. Tak dianggap penting, bahkan dilupakan. Lebih ironis, pada masa Orde Baru itu pula, keluarga Pak Sjaf --seperti juga keluarga Pak Natsir, Pak Roem, dan tokoh-tokoh Masjumi lainnya-- diangap sebagai anak pemberontak, kehidupan mereka dipersulit.

Setengah Abad, peran PDRI itu tersembunyi dalam tanah sejarah bangsa ini, sampai kemudian Selasa (19/12), Presiden Susilo Bambang Yudhoyono meletakkan PDRI pada tempatnya. Dalam Keppres 28/2006, Presiden menetapkan 19 Desember sebagai Hari Bela Negara untuk mengenang PDRI. Setengah Abad, waktu yang lama untuk meletakkan kebenaran. Jika masih hidup, Pak Sjaf mungkin tak berharap gelar pahlawan --beliau sendiri memilih dimakankan di Tanah Kusir daripada Kalibata-- namun sejarah haruslah diletakkan di tempatnya yang benar.

Sejarah tak dapat disembunyikan, tidak dapat ditiadakan, karena dia tak pernah mati, dan pasti muncul pada saatnya.

No comments:

Recommended