DAFTAR ISI: tentang saya | being moderat | project5 | galeri | simple view | tanJabok.com

MAN BEHIND ME: muhammad, syekh abbas, afa, tan malaka, m.hatta, m.natsir, dt.ribandang-dt.ketemanggungan, umar bin khatab, ali bin abi thalib, etc...

as MINANG's: it isnt about narsism, every man shouldnt forget who they really are... if they do, they just burried their identity, let this be our opportunities/potentials, not threats... a half man dont know where they stand on...

24 December 2004

M. Natsir, Islam sebagai Konstituen

Alhamdulillah mungkin pertama kali yang saya pantas ucapkan, setelah sekian lama akan perasaan ingin tahu mengenai pemahaman “islam sebagai konstituen”. ada beberapa hal yang memang kerap kali saya maupun kita dengar dari beberapa sumber, bahwa islam sebagai konstituen mengindikasikan segala sesuatu yang berhubungan dengan undang-undang, termasuk didalamnya UUD disesuaikan dengan konstituen islam, yakni alquran dan alhadits.

Terbesit juga sebuah opini dari seorang kawan, yang mengatakan “apakah islam dapat mengcover segala kemajuan dewasa ini?, memang ada sebuah tanda tanya besar dalam benak saya, apakah bisa? Bukan berarti saya pesimis, tapi tampaknya belum ada sebuah wacana aplikatif yang memang dapat dicerna, ataupun jika tidak begitu yang terjadi adalah pesimis bahwa agama dalam hal ini islam diobyektifkan. Dalam pandangan masyarakat umum, agama adalah sebuah milik pribadi, artinya perihal agama adalah antara persoalan yang terjadi hamba dengan tuhannya, dan ini tidak etis untuk diobyektifkan.

Hingga tadi, dua hal diatas merupakan opini yang paling rasional dan dapat saya pertimbangkan.

Lalu saya membaca sebuah tugas akhir dari seorang mahasiswa tingkat satu dari perguruan islam negeri yang berjudul “Pemikiran Politik Muhammad Natsir” yang disusun oleh Muhammad Hidayatullah. Ada sebuah tulisan yang menarik yang dilontarkan oleh M. Natsir tentang konstituen ini, bahwa yang dimaksud dengan islam sebagai konstituen adalah syariah (hukum islam) berperan dalam urusannya dengan urusan antar manusia (muamalah) selama manusia itu masih bersifat manusia (makhluk sosial), adapaun mengenai aplikasi dalam bidang lainnya seperti iptek, menurut beliau hal tersebut bersifat keduniaan yang selalu bertukar dan berubah menurut tempat, zaman dan keadaan, sehingga hal-hal tersebut akan menyesuaikan dengan kondisi yang pertama.

Segarlah dalam pemikiran saya, jikalau dalam perihal kehidupannya umat islam memahami dan mengideologikan islam sebagai jalan hidupnya (bukan berarti dia seorang kyai atau ustadz) maka isyaallah semua hal yang bersifat hubungan antar manusia akan berjalan dengan semestinya, artinya jikalau dasarnya sudah baik dan terjaga maka selanjutnya hanya menyesuaikan.

H. A. R. Gibb mengatakan, “Islam sesungguhnya lebih dari sebuah sistem agama saja, dia itu adalah sebuah kebudayaan yang lengkap”.

Teranglah kini isi pemikiran saya mengenai maksud islam sebagai konstituen.

23 December 2004

Kedamaianku disana

Sebuah surau bertingkat dua dengan lantai dari keramik, surau itu sama persis dengan surau yang kutemui waktu pertama kali aku ke kampung itu. Surau yang membuatku merinding, haru dan bahagia. Surau yang penuh dengan keharuan, karena memang alam sekitarnya memang mendukung untuk kesepian macam itu. Terkadang ada tanda tanya besar dalam benakku, surau besar seperti ini masihkah ada yang menghuni. Surau ini lebih besar dari masjid-masjid yang kutemui di daerah tempat tinggalku di jakarta, dan itu dihitung juga dengan populasi warga kampung yang berada di kampung tersebut.


Didekat surau itu terdapat makam, makam yang hening yang hanya terkadang dimeriahkan oleh bunyi air mengalir, ikan-ikan yang malu-malu, dan desir lambaian nyiur kelapa, berikut juga warna keemasan padi yang menguning. Tak banyak yang tahu, di makam itu terdapat enam petak makam dengan satu petak yang masih belum terisi. Menurut cerita orang kampung tersebut, itu adalah petak makam para aulia, para ulama-ulama yang berjuang sejak zaman paderi. Keheranan bagiku, hal ini tidak tampak seperti yang kulihat di pulau jawa tempat tinggalku, dimana makam aulia selalu ramai. Mungkin berbeda pula dengan budaya dikampung ini. Di makam tersebut terdapat sebuah tugu yang akhirnya kutahu, bahwa dua petak adalah makam ulama-ulama yang giat pada zaman paderi dan mereka bersaudara ipar, dua petak yang lain adalah ulama-ulama yang giat pada zaman sumatra thawalib, yang keduanya bersaudara kandung dari salah seorang ulama sebelumnya, yang salah seorangnya kuketahui adalah imam jihad sumatra tengah. Dan satu petakyang lain itu adalah seorang tuanku atau buya yang dimintai nasehat dan cukup disegani dikampung itu.

Didekat surau itu juga terdapat beberapa tabek, begitu orang kampung itu menyebutnya. Didalam tabek itu terdapat ikan mujair, orang kampung itu menyebutnya ikan kalua. Ikan yang menjadi hidangan utama bagi M.Natsir, Syafruddin bahkan Soekarno. Ya, yang terakhir itu pula sempat aku ragui, tapi hal tersebut telah menjadi sebuah yang biasa bagi kampung tersebut, ditunjukkannyalah aku foto kedua tokoh ulama zaman thawalib yang sedang bersama Soekarno, yang ketika itu telah menjadi Presiden RI yang pertama.

Tak habis ketakjubanku tentang kampung itu dulu, tapi kini kampung itu sunyi dan senyap, hanya semilir angin yang terdengar dan lengkingan suara adzan yang nyaring tiap lima kali sehari.

Aku rindu kampung itu, kampung yang terus membangun angan-anganku tentang kehidupan, surau yang selalu mengingatkanku akan kesederhanaan dalam sebuah kebesaran, makam yang selalu mengajarkanku perjuangan fisabilillah, sejarah, dan tanggung jawab, tabek yang mengajarkanku bahwa Allah meninggalkan segala sesuatunya untuk dimanfaatkan oleh manusia.

Aku rindu kampung itu, kampung yang menjadi pelarianku disaat kebimbangan menghantuiku, surau yang menjadi tempatku bersembunyi disela kegelisahanku, makam yang menjadi semangatku disaat aku kehilangan asa, dan tabek yang menjadi tempat pencari gembiraku disela kepenatanku.

Kedamaianku disana, seolah-olah aku menyadari jarakku dengan tuhanku, ditengah keterasingan dan deru laju zaman, ditengah perlombaan manusia menuju kebahagiaan dan kemakmuran, ditengah pergolakan manusia mencari stabilitas yang terus menerus labil.

Ya… kedamaianku disana, dan aku pasti akan kesana….

03 December 2004

Sebuah Baju Mahasiswa

"Soekarno dan Kepahlawanan Pemuda", sebuah artikel kawan yang cukup mengingatkan bahwa saya adalah seorang mahasiswa, berstatus mahasiswa.

Guru, pegawai, pemerintah, mahasiswa, murid, semua memiliki status yang real, akan tetapi apakah sebuah kapasitas dan kualitas dapat terpenuhi?

Semua pihak memiliki bajunya masing-masing dan mereka bangga dengan baju kebesarannya tersebut, tetapi apakah hal itu memenuhi nilai estetik dan kegunaan.

Begitu pula dengan mahasiswa sekarang, tak lebih adalah sebuah proses formalitas untuk meraih sebuah prestise dengan titel-titel yang akan menjamin seberapa besar income yang akan dihasilkannya kelak.

Baju seorang mahasiswa kini diperebutkan dihiasi dengan berbagai ornamen-ornamen yang menggelitik hanya untuk untuk memanjangkan sebuah kertas yang disebut curricullum vitae.

Dari zaman kolonial hingga saat ini, mahasiswa selalu ada, ada yang menjadi saksi bisu dan ada pula yang menjadi pelaku perubahan, bahkan ada pula yang menjadi korban dari perubahan itu sendiri.

Baju seorang mahasiswa tidak akan berarti apa-apa hanya akan menunjukkan sebuah legalitas bahwa perubahan demi sesuap nasi itu perlu.

Tampaknya baju yang bertajuk mahasiswa ini sudah mulai diproduksi massal dengan ukuran S, M, L, XL maupun XXL.

Dan tampaknya pula sudah banyak manusia-manusia puber yang ingin menunjukkan eksistensinya dengan membeli baju tersebut, bukan ukuran yang menjadi patokan, tetapi seberapa mahal baju itu, tanpa melihat bahwa dia kedodoran dengan baju yang dibelinya itu.

Seorang syafii maarif menyatakan tentang kesan dan pesannya terhadap mahasiswa, “idealisme sesaat”.

Akan tetapi kenyataan sekarang ini bukanlah sesuatu yang ironis, masih ada segerombolan pemuda yang merasa bertanggung jawab atas keadaan hari ini dan esok.

Dan mereka mencoba merubah dengan tangan-tangan premature mereka. Tangan-tangan yang belum pernah mencicipi segala sesuatunya, tentunya seperti tangan yang bertemu dengan air panas atau air dingin, tarik-ulur, kaget, “celupinnya pelan-pelan aja ya….”.

Mahasiswa dengan predikatnya akan mampu membawa perubahan, tetapi sejauh mana beliau-beliau tersebut sadar akan fungsi dan kapasitasnya sebagai mahasiswa, agent of change.

10 October 2004

Pendidikan Kita

“Perjuangan rakyat harus diperbaharui dari agitasi ke organisasi, dengan pendidikan” hatta.

Dalam sebuah tulisannya mohammad hatta, salah seorang proklamator indonesia yang berprinsip cooperatif tapi bukan non aksi, mengungkapkan bahwa perjuangan kemerdekaan indonesia menjadi tanggung jawab bersama, dan rasa kebertanggung jawaban tersebut hanya dapat dipahami dengan pendidikan, pembentukan mental dengan disertai iman yang teguh.

Masih berhubungan dengan kondisi pendidikan kita, pendidikan indonesia, dewasa ini
adalah bagaimana permasalahan indonesia pada tahun empat puluhan masih menjadi realita yang belum terselesaikan? Masih sama, masih berkutat dalam kubangan yang sama, dan terperosok lebih dalam, terjebak dalam sebuah peningkatan mutu pendidikan dengan cara ektensifikasi, perbaikan gedung, penambahan ruang kelas, dsb. Dibandingkan dengan intensifikasi pendidikan, peningkatan mutu guru, peningkatan mutu perpustakaan, peningkatan mutu karyawan, peningkatan mutu SDM.

Sehingga bisa dilihat bahwa perkembangan pendidikan kita masih jalan ditempat, hal ini dibuktikan dengan maraknya demo-demo, baik yang dilakukan rakyat jelata, pegawai, bahkan mahasiswa. Dalam kasus tersebut ada dua sudut pandang, entah yang berdemo yang kurang perndidikan atau yang didemo yang kurang pendidikan. Tapi keduanya menunjukan gejala bahwa pendidikan kita masih jalan ditempat. Perjuangan, penyaluran aspirasi masih diberlakukan dengan cara agitasi bukan organisasi, seperti yang dikatakan oleh hatta.

Menjadi tanggung jawab kita bahwa peningkatan pendidikan untuk hari esok menjadi sebuah agenda yang sangat penting. Dan menjadi tugas kita pula untuk mulai mengatas namakan pendidikan, momen agitasi menjadi organisasi.

Recommended